Hubungi Psikiater Ini Jika Mengidap Stockholm Syndrome

Apabila kamu atau orang terdekat mengalami gejala Stockholm Syndrome, segera hubungi psikiater di Halodoc untuk mendapat saran perawatan.

Psikiater di Halodoc telah berpengalaman serta mendapatkan penilaian baik dari pasien yang sebelumnya mereka tangani.

Berikut psikiater di Halodoc yang bisa kamu hubungi:

Itulah beberapa psikiater yang bisa kamu hubungi untuk bantu perawatan terkait Stockholm Syndrome. Jangan ragu untuk segera menghubungi dokter agar dapat segera ditangani.

Dokter tersebut tersedia selama 24 jam di Halodoc sehingga kamu bisa lakukan konsultasi dari mana saja dan kapan saja.

Namun, jika dokter sedang tidak tersedia atau offline, kamu tetap bisa membuat janji konsultasi melalui aplikasi Halodoc.

Tunggu apalagi? Ayo, pakai Halodoc sekarang juga!

Pencegahan Stockholm Syndrome

Sayangnya, tidak ada cara yang pasti untuk mencegah sindrom stockholm, mengingat kondisi ini berkembang sebagai respons terhadap trauma ekstrem, seperti penculikan atau kekerasan fisik dan mental.

Karena sindrom ini merupakan respons psikologis  yang tidak dapat diprediksi, tindakan pencegahan cenderung sulit dilakukan.

Stockholm syndrome juga tidak terbatas hanya pada korban penculikan. Orang yang mengalami pelecehan fisik atau emosional dalam hubungan pribadi atau lingkungan kerja juga dapat mengembangkan perasaan serupa terhadap pelaku.

Menyadari atau memahami tanda-tanda awal dan mencari respon yang cepat terhadap trauma bisa membantu mengurangi risiko berkembangnya sindrom ini. Meski begitu, hal ini tidak sepenuhnya dapat dicegah.

Konseling dan terapi

Pendekatan utama dalam mengobati stockholm syndrome adalah melalui konseling psikologis dengan psikiater atau psikolog.

Terapi kognitif-perilaku (CBT) juga dilakukan untuk membantu korban memahami dan mengatasi perasaannya terhadap pelaku. Terapi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku negatif yang berkembang selama situasi traumatis.

Dalam beberapa kasus, korban mungkin juga diberikan obat-obatan tertentu untuk mengatasi gejala kecemasan, depresi, atau stres pasca-trauma.

Obat antidepresan dan obat anti-kecemasan dapat digunakan untuk membantu korban mengelola efek psikologis dari trauma.

Selain terapi formal, korban mungkin memerlukan dukungan dari kelompok sebaya atau keluarga. Dukungan sosial sangat penting untuk membantu korban memulihkan diri dari trauma dan kembali menjalani kehidupan yang normal.

Penyebab Stockholm Syndrome

Sejauh ini para peneliti tidak tahu pasti penyebab mengapa beberapa tawanan mengembangkan sindrom ini sedangkan yang lain tidak.

Bisa jadi keberadaan sindrom ini sebagai teknik coping nenek moyang peradaban masa lalu.

Di mana pada situasi tertentu, tawanan membangun ikatan emosional dengan penculiknya untuk meningkatkan peluang bertahan hidup.

Teori lain menyebutkan bahwa situasi tawanan atau pelecehan sangat emosional. Korban bisa “terpaksa” menyesuaikan perasaan dengan pelaku untuk mengamankan keselamatannya.

Ketika tidak disakiti oleh pelakunya, korban mungkin merasa bersyukur dan bahkan memandang pelakunya sebagai orang yang penuh belas kasihan.

Pembinaan Olahraga

Terlibat dalam olahraga adalah salah satu cara untuk membangun keterampilan dalam berelasi. Sayangnya, beberapa dari hubungan yang terbangun lewat pembinaan olahraga pada akhirnya berakhir negatif.

Teknik pelatihan yang keras bisa menjadi kasar. Atlet mungkin mengatakan pada diri sendiri bahwa perilaku pelatih mereka adalah untuk kebaikan mereka sendiri. Ini pada akhirnya dapat menjadi bentuk sindrom Stockholm.

Gejala mirip PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)

Korban juga sering mengalami gejala yang serupa dengan PTSD, seperti kilas balik peristiwa traumatis, rasa tidak percaya terhadap orang lain dan perasaan tertekan.

Korban juga menjadi mudah tersinggung, kecemasan berlebihan, kesulitan menikmati aktivitas yang dulu disukai, serta kesulitan berkonsentrasi.

Gejala-gejala ini sering kali berlangsung lama bahkan setelah situasi traumatis berakhir.

Diagnosis Stockholm Syndrome

Meskipun American Psychiatric Association (APA) tidak secara resmi mengakui stockholm syndrome sebagai gangguan mental yang spesifik, perilaku dan respons sindrom ini mirip sekali dengan trauma psikologis yang ekstrem.

Tidak ada kriteria diagnostik khusus untuk kondisi ini. Sebab, penelitian tentang stockholm syndrome masih terbatas.

Namun, para profesional kesehatan mental mengenali bahwa perilaku yang muncul dalam situasi traumatis, seperti yang ada dalam stockholm syndrome, mirip dengan gejala gangguan stres pasca-trauma (PTSD) atau gangguan stres akut.

Oleh karena itu, diagnosis untuk stockholm syndrome sering mengacu pada evaluasi gejala PTSD dan reaksi trauma lainnya.

Apa Itu Stockholm Syndrome?

Sindrom stockholm adalah mekanisme koping (coping mechanism) yang biasanya terjadi pada orang yang mengalami penculikan.

Korban akan mengembangkan perasaan positif terhadap penculik atau pelaku dari waktu ke waktu.

Kondisi ini juga berlaku untuk beberapa situasi lain termasuk pelecehan anak, pelecehan pelatih-atlet, pelecehan hubungan dan perdagangan seks.

Simpati terhadap pandangan pelaku

Korban bisa mulai membenarkan perilaku atau keyakinan pelaku, bahkan yang melibatkan kekerasan atau perilaku merugikan.

Mereka mungkin berpikir bahwa pelaku memiliki alasan yang sah untuk bertindak seperti itu, atau merasa bahwa pelaku sebenarnya adalah “korban” dari situasi yang lebih besar.

Toxic Relationship

Orang yang mengalami hubungan toksik dapat mengembangkan keterikatan emosional dengan pelakunya.

Pelecehan seksual, fisik, dan emosional, serta inses, dapat berlangsung selama bertahun-tahun.

Selama waktu ini, seseorang dapat mengembangkan perasaan positif atau simpati untuk orang yang menyalahgunakannya.

Pelaku sering mengancam korbannya dengan menyakiti, bahkan akan menghabisi nyawanya. Korban mungkin mencoba untuk tidak membuat marah pelaku dengan menjadi patuh.

Pelaku juga dapat menunjukkan kebaikan yang dapat dianggap sebagai perasaan yang tulus.

Hal ini selanjutnya dapat membingungkan anak (korban) dan menyebabkan mereka tidak memahami sifat negatif positif dari hubungan tersebut.

Orang-orang yang diperdagangkan seringkali bergantung pada pelakunya untuk kebutuhan, seperti makanan dan air. Ketika pelaku memberikan itu, korban mungkin mulai mengembangkan perasaan positif terhadap pelakunya.

Mereka mungkin juga menolak bekerja sama dengan polisi karena takut akan pembalasan atau berpikir bahwa mereka harus melindungi pelaku kekerasan untuk melindungi diri mereka sendiri.